Banyuwangi, kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, menyimpan kekayaan sejarah dan tradisi yang telah berkembang selama berabad-abad.
Wilayah yang berbatasan langsung dengan Selat Bali ini tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga memiliki cerita yang menarik tentang asal-usul namanya.
Nama Banyuwangi berasal dari Legenda Sri Tanjung, sebuah kisah tragis tentang seorang istri patih yang difitnah raja hingga akhirnya dibunuh suaminya sendiri.
Ketika jasad Sri Tanjung diceburkan ke sungai keruh, air sungai tersebut berubah menjadi jernih dan berbau harum, melahirkan nama “Banyuwangi” yang berarti air wangi.
Sejarah Banyuwangi tidak dapat dipisahkan dari masa kejayaan Kerajaan Blambangan dan berbagai pengaruh budaya yang membentuk identitasnya hingga saat ini.
Masyarakat Banyuwangi telah lama dikenal memiliki kemampuan menyerap budaya baru dan mengolahnya menjadi sesuatu yang orisinal, mulai dari kuliner, kerajinan, musik, hingga tradisi sosial yang unik.
Asal Usul Nama Banyuwangi
Nama Banyuwangi memiliki makna yang mendalam yang berakar dari kata “banyu” dan “wangi” dalam bahasa Jawa, serta terkait erat dengan keberadaan sungai-sungai di wilayah tersebut.
Sejarah penamaan daerah ini mengalami beberapa perubahan dari masa kerajaan hingga era kolonial.
Makna dan Etimologi Kata Banyuwangi
Kata “Banyuwangi” berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: “banyu” yang berarti air dan “wangi” yang berarti harum atau wangi.
Gabungan kedua kata ini membentuk makna “air yang harum” atau “air yang wangi”.
Etimologi ini menunjukkan hubungan yang kuat antara nama daerah dengan karakteristik geografis wilayah ujung timur Jawa.
Wilayah Banyuwangi memang dikenal memiliki banyak sumber air dan sungai yang jernih.
Komponen etimologi Banyuwangi:
- Banyu = air (bahasa Jawa)
- Wangi = harum/wangi (bahasa Jawa)
- Makna gabungan = air yang harum
Peran Sungai dalam Pemberian Nama
Sungai-sungai di wilayah Banyuwangi memainkan peran penting dalam pemberian nama daerah ini.
Wilayah ujung timur Jawa memiliki beberapa sungai besar yang airnya jernih dan mengalir dari pegunungan.
Air sungai yang jernih dan segar memberikan kesan “wangi” bagi masyarakat setempat.
Kondisi geografis dengan banyak aliran sungai membuat wilayah ini subur dan kaya akan sumber daya air.
Keberadaan sungai-sungai ini juga menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat dalam aktivitas pertanian dan perdagangan.
Nama Banyuwangi mencerminkan apresiasi masyarakat terhadap kelimpahan air bersih di daerah mereka.
Perubahan Nama dari Masa ke Masa
Wilayah Banyuwangi mengalami beberapa perubahan nama sepanjang sejarah.
Pada masa Kerajaan Blambangan, wilayah ini dikenal dengan nama yang berbeda sebelum akhirnya menjadi Banyuwangi.
Kronologi perubahan nama:
- Masa Kerajaan Blambangan: Bagian dari wilayah Blambangan
- Era kolonial: Mulai dikenal sebagai Banyuwangi
- 18 Desember 1771: Penetapan resmi nama Banyuwangi
Penetapan nama Banyuwangi secara resmi terjadi pada 18 Desember 1771.
Tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi.
Perubahan nama ini mencerminkan transisi dari sistem kerajaan tradisional menuju sistem administratif yang lebih modern.
Nama Banyuwangi bertahan hingga saat ini sebagai identitas wilayah ujung timur Pulau Jawa.
Legenda dan Cerita Rakyat Banyuwangi
Cerita rakyat Banyuwangi terpusat pada Legenda Sri Tanjung yang menjadi asal nama daerah ini.
Kisah-kisah tradisional ini mengandung nilai moral tentang kesetiaan, fitnah, dan keadilan yang masih hidup dalam masyarakat setempat.
Kisah Sri Tanjung dan Patih Sidopekso
Legenda Sri Tanjung merupakan cerita rakyat Banyuwangi yang paling terkenal dan menjadi asal muasal nama daerah ini.
Kisah ini berpusat pada Sri Tanjung, istri Patih Sidopekso yang memiliki kecantikan luar biasa.
Patih Sidopekso adalah tangan kanan Raja Prabu Sulahkromo dalam menjalankan pemerintahan di ujung timur Pulau Jawa.
Sri Tanjung dikenal sebagai wanita yang tidak hanya cantik tetapi juga berbudi luhur dan setia pada suaminya.
Konflik muncul ketika kecantikan Sri Tanjung menarik perhatian Raja Prabu Sulahkromo.
Raja berusaha merayu Sri Tanjung namun upayanya gagal karena kesetiaan wanita tersebut pada suaminya.
Klimaks tragis terjadi ketika Patih Sidopekso kembali dari tugasnya.
Raja memfitnah Sri Tanjung dengan tuduhan bahwa istri patihnya telah menggoda sang raja.
Patih Sidopekso yang marah dan terpengaruh fitnah raja kemudian menyeret istrinya ke tepi sungai keruh.
Sri Tanjung meminta agar jasadnya diceburkan ke sungai setelah dibunuh sebagai bukti kesuciannya.
Setelah ditusuk keris, jasad Sri Tanjung diceburkan ke sungai yang keruh.
Air sungai kemudian berubah menjadi jernih dan berbau harum, membuktikan kesucian dan ketidakbersalahan Sri Tanjung.
Pengaruh Prabu Sulahkromo dalam Cerita Rakyat
Prabu Sulahkromo memegang peran penting sebagai antagonis dalam legenda Banyuwangi.
Ia digambarkan sebagai raja yang berkuasa di wilayah ujung timur Pulau Jawa pada masa lampau.
Karakter raja ini mencerminkan sifat-sifat negatif penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Hasrat Prabu Sulahkromo terhadap Sri Tanjung menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat merusak moral seseorang.
Tindakan memfitnah yang dilakukan raja ini menjadi pelajaran moral tentang bahaya fitnah dan kebohongan.
Prabu Sulahkromo memanfaatkan posisinya untuk menyakiti orang yang tidak bersalah.
Peran sebagai katalis dalam cerita ini menunjukkan bagaimana satu tindakan jahat dapat menghancurkan kehidupan orang lain.
Fitnah raja menyebabkan kematian Sri Tanjung yang tidak bersalah.
Dalam konteks cerita rakyat, sosok Prabu Sulahkromo mewakili peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Karakternya mengajarkan pentingnya integritas dalam kepemimpinan.
Legenda Raden Banterang dan Dewi Surati
Selain Legenda Sri Tanjung, cerita rakyat Banyuwangi juga mencakup kisah Raden Banterang dan Dewi Surati.
Legenda ini merupakan versi lain dari asal-usul nama Banyuwangi yang berkembang dalam tradisi masyarakat.
Raden Banterang digambarkan sebagai tokoh yang memiliki peran penting dalam sejarah daerah ini.
Hubungannya dengan Dewi Surati menjadi inti dari cerita yang diturunkan secara turun-temurun.
Kisah ini menunjukkan kekayaan tradisi lisan masyarakat Banyuwangi yang memiliki beragam versi cerita.
Keberadaan multiple legenda mencerminkan dinamika budaya lokal yang hidup.
Variasi cerita ini membuktikan bahwa masyarakat Banyuwangi memiliki tradisi bercerita yang kuat.
Setiap versi membawa nuansa dan pesan moral yang berbeda namun saling melengkapi.
Legenda Raden Banterang dan Dewi Surati tetap dilestarikan melalui tradisi lisan meskipun tidak sepopuler kisah Sri Tanjung.
Keduanya sama-sama menjadi bagian dari identitas budaya Banyuwangi.
Pesan Moral dari Cerita Rakyat Banyuwangi
Legenda Banyuwangi mengandung nilai-nilai moral yang mendalam dan relevan hingga saat ini.
Kisah Sri Tanjung mengajarkan pentingnya kesetiaan, kejujuran, dan keteguhan dalam menghadapi cobaan.
Tema utama yang menonjol adalah bahaya fitnah dan dampak destruktifnya terhadap kehidupan manusia.
Cerita ini menunjukkan bagaimana tuduhan palsu dapat menghancurkan keluarga dan masyarakat.
Nilai keadilan ilahi tercermin dalam perubahan air sungai yang membuktikan kesucian Sri Tanjung.
Hal ini mengajarkan bahwa kebenaran akan selalu terungkap meskipun memerlukan waktu.
Perkembangan Sejarah Banyuwangi
Wilayah Banyuwangi memiliki perjalanan sejarah yang kompleks melalui era Kerajaan Blambangan, masa penjajahan VOC dan Inggris, hingga perlawanan heroik dalam Puputan Bayu 1771.
Transformasi politik dan administratif ini membentuk identitas Banyuwangi sebagai daerah di ujung timur Pulau Jawa.
Peran Kerajaan Blambangan
Kerajaan Blambangan menjadi kekuatan politik terakhir yang menguasai wilayah ujung timur Jawa sebelum era kolonial.
Pangeran Tawang Alun memimpin kerajaan ini dengan sistem pemerintahan Hindu-Jawa yang khas.
Blambangan mempertahankan kemandirian politiknya hingga abad ke-18.
Kerajaan ini menjalin hubungan dagang dengan berbagai pihak termasuk pedagang Eropa.
Wilayah kekuasaan Blambangan mencakup seluruh area yang kini menjadi Kabupaten Banyuwangi.
Sistem pemerintahan tradisional Jawa masih diterapkan dengan struktur hierarki yang jelas.
Warisan budaya Hindu-Jawa masih terlihat dalam tradisi masyarakat Banyuwangi hingga kini.
Penjajahan VOC dan Inggris di Banyuwangi
VOC mengklaim wilayah Blambangan berdasarkan penyerahan kekuasaan Jawa Timur dari Pakubuwono II.
Namun klaim ini tidak pernah direalisasikan hingga akhir abad ke-17.
Pemerintah Inggris mulai menjalin hubungan dagang dengan Blambangan pada pertengahan abad ke-18.
Aktivitas perdagangan ini mengancam posisi VOC di wilayah tersebut.
VOC kemudian bergerak untuk mengamankan kekuasaannya atas Blambangan.
Langkah ini memicu ketegangan dengan kerajaan lokal yang ingin mempertahankan kemerdekaan.
Perlawanan Rakyat melalui Puputan Bayu
Puputan Bayu terjadi pada 18 Desember 1771 sebagai puncak perlawanan Blambangan terhadap VOC.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kemandirian politik wilayah ujung timur Jawa.
Kerajaan Blambangan berusaha melepaskan diri dari dominasi VOC melalui perlawanan bersenjata.
Namun kekuatan militer VOC yang superior akhirnya mengalahkan pasukan Blambangan.
Kekalahan dalam Puputan Bayu mengakhiri era Kerajaan Blambangan.
VOC kemudian mengangkat R Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Tanggal 18 Desember 1771 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi.
Peristiwa Puputan Bayu menjadi penanda transisi dari era kerajaan menuju administrasi kolonial.